Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI UNAAHA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2018/PN Unh Iron alias Bulo Kepala Kepolisian republik Indonesia Cq Kepala Kepolisian Sektor Tongauna Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 22 Nov. 2018
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2018/PN Unh
Tanggal Surat Kamis, 22 Nov. 2018
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Iron alias Bulo
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian republik Indonesia Cq Kepala Kepolisian Sektor Tongauna
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Hal : Permohonan Praperadilan

Dengan hormat,

 

JUSHRIMAN, SH dan JEFRIZAL, SH., MH. Kewarganegaraan Indonesia, Advokat pada kantor hukum Jn & Jn Partners yang beralamat di Kelurahan Pusinauwi Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe, berdasarkan Surat Kuasa Khusus nomor : 12/ SKK-Jn.P/XI/2018, tanggal 21 November 2018, bertindak untuk dan atas nama :

 

IRON Als BULO, Kewarganegaraan Indonesia, umur 41 tahun, Jenis Kelamin Laki-Laki, Pekerjaan Petani, Alamat Desa Momea Kec. Tongauna Kab.  Konawe, dalam hal ini memilih tempat kediaman (domisili) di kantor kuasanya tersebut diatas, untuk mengajukan permohonan Praperadilan mengenai sah atau tidaknya Penetapan pemohon sebagai tersangka dan mengenai sah atau tidaknya penahanan pemohon dalam dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Selanjutnya dalam perkara aquo mohon disebut PEMOHON.

 

Permohonan praperadilan diajukan melawan :

 

KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI TENGGARA Cq. KEPALA KEPOLISAN RESORT KONAWE Cq. KEPALA SATUAN RESERSE DAN KRIMINAL KEPOLISAN RESORT KONAWE Cq. KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR TONGAUNA, yang beralamat di Desa Lalonggowuna Kecamatan Tongauna Kabupaten Konawe.

Selanjutnya dalam perkara aquo mohon disebut TERMOHON.

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

1. Bahwa  praperadilan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

2. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

3. Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, pra peradilan juga telah mencakup sah atau tidak sah nya penetapan tersangka, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, berikut kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 :

*  Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

d. Bahwa oleh karena itu, permohonan praperadilan aquo mengenai sah atau tidaknya Penetapan pemohon sebagai tersangka dan mengenai sah atau tidaknya penahanan pemohon, berdasarkan pasal 1 angka 10 KUHAP Jo. Pasal 77 huruf a KUHAP dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, untuk kemudian mohon berkenan Ketua Pengadilan Negeri Unaaha Cq. yang mulia Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara aquo untuk menyatakan berwenang mengadili permohonan praperadilan yang diajukan pemohon.

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

I.  ADANYA PERUBAHAN DUGAAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN PEMOHON.

  1. Bahwa dalam tahap penyelidikan pemohon telah dimintai keterangan terkait dugaan membuat perasaan tidak menyenangkan (pengancaman) sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP, berdasarkan laporan pengaduan sesorang bernama Steven Efendi bertanggal 26 Agustus 2018.
  2. Bahwa sejak awal penyelidikan sampai penetapan pemohon selaku tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan nomor : SP. Sidik/12/IX/2018/Reskrim, tanggal 20 September 2018 hingga pada surat panggilan pertama No : S. Pgl/14/IX/2018/ Sat Reskrim, bertanggal 24 September 2018, Termohon masih mengacu pada dugaan tindak pidana membuat perasaan tidak menyenangkan (pengancaman) sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP.
  3. Bahwa kemudian pada panggilan kedua No : S. Pgl/14.a/IX/2018/Sat Reskrim bertanggal 1 Oktober 2018, telah terjadi perubahan dugaan tindak pidana yaitu dugaan tindak pidana pengancaman dengan menunjuk pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP.
  4. Bahwa mengenai dugaan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan (pengancaman) sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP, sebelum perubahan tersebut diatas, kuasa hukum pemohon yang bernama Irwanto Efendi, SH., MH telah berkali-kali melakukan protes karena tindak pidana membuat perasaan tidak menyenangkan atau perbuatan tidak menyenangkan (pengancaman) sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP, telah di nyatakan tidak berkekuatan hukum berdasarkan putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013.
  5. Bahwa oleh karena itu beralasan untuk diduga perubahan dimaksud guna menutupi kekeliruan termohon akibat ketidak tahuan termohon akan adanya putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014.
  6. Bahwa atas perubahan tersebut, tentunya pemohon sangat keberatan, karena jelas proses hukum terhadap pemohon berdasarkan laporan pengaduan seseorang yang bernama Steven Efendi yang melaporkan pemohon dengan dugaan perbuatan membuat perasaan tidak menyenangkan, oleh karena itu apabila kemudian termohon baru mengetahui putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014, seharusnya secara bijak termohon menghentikan proses perkara aquo, bukan dengan merubah dugaan perbuatan pidana, hal demikian justru menunjukan kesan termohon mencoba memaksakan proses perkara aquo.
  7. Bahwa berkait dengan perubahan dugaan tindak pidana dalam perkara aquo untuk kemudian menjadikan tidak jelasnya dugaan tindak pidana terhadap pemohon, telah menyalahi ketentuan pasal 51 KUHAP, yang berbunyi : untuk mempersiapkan pembelaan : huruf a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
  8. Bahwa berkait sekalipun kemudian dilakukan perubahan sangkaan tindak pidana terhadap pemohon, namun oleh karena semua berkas dalam tahap penyelidikan dan berkas dalam surat perintah penyidikan nomor : SP. Sidik/12/IX/2018/Reskrim, tanggal 20 September 2018 hingga pada surat panggilan pertama No : S. Pgl/14/IX/2018/ Sat Reskrim, bertanggal 24 September 2018, telah memuat dugaan tindak pidana membuat perasaan tidak menyenangkan yang sudah dicabut keberlakuannya berdasarkan putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014, sehingga perbuatan termohon menjadi tidak berdasarkan hukum, hal mana mengacu pada pasal 1 ayat 1 KUHP tentang azas legalitas yang berbunyi : suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
  9. Bahwa oleh karena tindak pidana membuat perasaan tidak menyenangkan sudah dicabut keberlakuannya dalam unsur pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP, maka sudah sepatutnya semua berkas yang bertuliskan dugaan tindak pidana membuat perasaan tidak menyenangkan dalam tahap penyelidikan dan berkas dalam surat perintah penyidikan nomor : SP. Sidik/12/IX/2018/Reskrim, tanggal 20 September 2018 hingga pada surat panggilan pertama No : S. Pgl/14/IX/2018/ Sat Reskrim, bertanggal 24 September 2018, untuk kemudian dinyatakan tidak sah.

II.  PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON MENYALAHI KETENTUAN PASAL 1 AYAT 1 KUHP.

  1. Bahwa putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014, yang menyatakan frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dalam pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau secara umum dikenal telah dicabut keberlakuannya.
  2. Bahwa surat perintah penyidikan nomor : SP. Sidik/12/IX/2018/Reskrim, tanggal 20 September 2018 yang dikeluarkan termohon terhadap pemohon, dalam uraian tindak pidana yang disangkakan terhadap pemohon sebagaimana unsur pasal 335 ayat 1 ke 1 sebelum adanya putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014, yaitu “membuat perasaan tidak menyenangkan” atau sebagaimana uraian lengkap unsurnya dalam pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP yaitu sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenagkan.
  3. Bahwa oleh karena uraian tindak pidana sebagaimana unsur pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP tentang sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenagkan atau lebih dikenal perbuatan tidak menyenangkan, telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014, maka patut dan beralasan hukum penetapan tersangka pemohon berdasarkan surat perintah penyidikan nomor : SP. Sidik/12/IX/2018/Reskrim termasuk segala proses yang dilakukan termohon sepanjang mengenai membuat perasaan tidak menyenangkan, berdasarkan hukum sepatutnya dinyatakan tidak sah.    
  4. Bahwa berdasarkan putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014 sebagaimana tersebut, sehingga perbuatan yang dilaporkan dan disangkakan terhadap pemohon bukanlah tindak pidana karena syarat suatu perbuatan dapat dikatakan tindak pidana harus diatur dalam peraturan perundang-undangan, hal tersebut umum dikenal dan disebut azas legalitas sebagaimana pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi : suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

III. PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON TIDAK MEMENUHI KETENTUAN 2 ALAT BUKTI YANG SAH.

  1. Bahwa setelah perubahan dugaan tindak pidana yang dalam surat perintah penyidikan nomor : SP.sidik/12/IX/2018/Reskrim menerangkan “membuat perasaan tidak menyenangkan” (pengancaman), untuk kemudian berubah yaitu “membuat perasaan tidak menyenangkan”  dihilangkan dan hanya tertulis  pengancaman, selanjutnya dalam permohonan aquo yang menjadi persoalan adalah termohon dalam menetapkan pemohon selaku tersangka tidak memenuhi 2 alat bukti yang sah sebagaimana pasal 184 ayat 1 KUHAP.
  2. Bahwa mengenai penetapan tersangka terhadap pemohon, termohon mengacu pada 2 alat bukti yaitu keterangan saksi-saksi dari pihak pelapor dan alat bukti rekaman Handphone dari pihak pelapor saat kejadian pelemparan rumah mertua pengadu, ditambahkan dengan barang bukti berupa beberapa batu yang menurut termohon batu tersebut adalah alat yang dipakai pemohon untuk melempar rumah mertua pengadu.
  3. Bahwa mengenai barang bukti berupa batu sangat jelas bukanlah alat bukti sebagaimana alat bukti dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP, serta alat bukti dan barang bukti dalam KUHAP merupakan 2 hal yang berbeda.
  4. Bahwa mengenai barang bukti batu, patut diragukan kebenaran atau keasliannya, terlebih lagi barang bukti berupa batu didapatkan oleh termohon bukan dalam rangka penyelidikan perkara aquo atau bukan dalam rangka olah TKP, melainkan barang bukti berupa batu diserahkan oleh pelapor, bahkan termohon saja juga tidak begitu yakin bahwa barang bukti berupa batu tersebutlah yang dijadikan alat berbuat tindak pidana.
  5. Bahwa selanjutnya mengenai alat bukti rekaman suara atau informasi elektronik yang dijadikan alat bukti untuk menetapkan pemohon sebagai tersangka, sesungguhnya tidak dikenal dalam KUHAP, mengenai bukti rekaman sebagai alat bukti adalah merupakan perkembangan hukum yang diatur dalam pasal 5 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016  tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, yaitu :

Pasal 5 ayat 1 : informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Pasal 5 ayat 2 : informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku diindonesia.

Pasal 5 ayat 3 : informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini.  

  1. Bahwa berkait alat bukti informasi elektronik yang diatur dalam UU tentang ITE tersebut, dalam hal standar prosedur Kapolri juga telah mengeluarkan peraturan Kapolri (Perkap) nomor 10 tahun 2009, mengenai permasalahan aquo, dapat dilihat pada pasal 17, pasal 18 dan pasal 19 Peraturan Kapolri (Perkap) nomor  10 tahun 2009 tentang tata cara dan persyaratan permintaan pemeriksaan teknis kriminalistik tempat kejadian perkara dan laboratoris kriminalistik barang bukti kepada laboratorium forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa penggunaan bukti rekaman dari alat komunikasi Handphone, wajib memenuhi syarat formal dan syarat teknis, hal mana telah diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) nomor  10 tahun 2009, Paragraf 3 Pemeriksaan Barang Bukti Perangkat Elektronik, Telekomunikasi, Komputer (Bukti Digital), dan penyebab proses elektrostatis;

Pasal 17 mengatur bahwa : Pemeriksaan barang bukti perangkat elektronik, telekomunikasi, komputer (bukti digital) dan penyebab proses elektrostatis dilaksanakan di Labfor Polri dan/atau di TKP.

Pasal 18 ayat 1 mengatur bahwa : Pemeriksaan barang bukti perangkat elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib memenuhi persyaratan formal sebagai berikut:

a. permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/pimpinan instansi;

b. laporan polisi;

c. BAP saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan

d. BA pengambilan, penyitaan dan pembungkusan barang bukti.

Ayat 2 mengatur bahwa : Pemeriksaan barang bukti perangkat elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut:

a. barang bukti secara lengkap dikirimkan ke Labfor Polri, beserta seluruh sistemnya;

b. apabila barang bukti merupakan perangkat elektronik yang tidak sederhana, pengiriman barang bukti dilengkapi dengan :

1. spesifikasi teknis, gambar konstruksi, dan pedoman penggunaan (operating manual) dari pabrik pembuatnya;

2. dokumen riwayat pemakaian dan perawatan dari pengguna (Log Book), terutama berkaitan dengan kejadian kasus;

c. barang bukti dibungkus, diikat,dilak, disegel, dan diberi label;

d. apabila terdapat barang bukti yang diduga palsu atau tidak sesuai spesifikasinya, selain dikirimkan barang buktinya, wajib dikirimkan barang pembanding yang dilengkapi dengan pernyataan keaslian pembanding dari produsen resmi; dan

e. barang bukti yang ukuran dan kondisinya tidak dapat dikirim ke Labfor Polri, dapat diperiksa di tempat (TKP) dengan tetap mempertahankan keaslian (status quo) TKP.

Pasal 19 ayat 1 mengatur bahwa : Pemeriksaan barang bukti perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib memenuhi persyaratan formal sebagai berikut:

a. permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/pimpinan instansi;

b. laporan polisi;

c. BAP saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan

d. BA pengambilan, penyitaan dan pembungkusan barang bukti.

Ayat 2 mengatur bahwa : Pemeriksaan barang bukti perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut:

a. barang bukti secara lengkap dikirimkan ke Labfor Polri, beserta seluruh sistemnya;

b. apabila barang bukti merupakan perangkat telekomunikasi yang tidak sederhana, pengiriman barang bukti dilengkapi dengan :

1. spesifikasi teknis, gambar konstruksi, dan pedoman penggunaan (operating manual) dari pabrik pembuatnya; dan

2. dokumen riwayat pemakaian dan perawatan dari pengguna (Log Book), terutama berkaitan dengan kejadian kasus.

c. barang bukti dibungkus, diikat, dilak, disegel, dan diberi label;

d. apabila terdapat barang bukti yang diduga palsu atau tidak sesuai spesifikasinya, selain dikirimkan barang buktinya, wajib dikirimkan barang pembanding yang dilengkapi dengan pernyataan keaslian pembanding dari produsen resmi;

e. pengiriman barang bukti ke Labfor Polri dapat melalui pos paket atau kurir; dan

f. barang bukti yang ukuran dan kondisinya tidak dapat dikirim ke Labfor Polri, dapat diperiksa di tempat asalnya (TKP) oleh pemeriksa ahli dari Labfor Polri dengan tetap memertahankan keaslian (status quo) TKP.         

8. Bahwa berdasarkan fakta yang diketahui pemohon mengenai alat bukti rekaman yang dijadikan alat bukti oleh termohon tidak dilakukan prosedur sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016  tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, serta juga tidak dilaksanakan prosedur sebagaimana pasal 17, pasal 18 dan pasal 19 Peraturan Kapolri (Perkap) nomor  10 tahun 2009.

9. Bahwa oleh karena tidak dilaksanakannya prosedur sebagaimana ketentuan pasal 5 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016  tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, serta juga tidak dilaksanakan prosedur sebagaimana pasal 17, pasal 18 dan pasal 19 Peraturan Kapolri (Perkap) nomor  10 tahun 2009, maka jelas bukti rekaman yang dijadikan sebagai alat bukti oleh termohon menjadi tidak sah, oleh karena itu berdasarkan hukum alat bukti rekaman tidak memenuhi kualifikasi sebagai alat bukti yang sah.

10. Bahwa pentingnya dilakukan prosedur terhadap alat bukti informasi elektronik selain karena ketentuan UU ITE dan ketentuan Perkap, juga karena mengingat segala sesuatu yang berhubungan dengan alat elektronik dan informasi elektronik rawan dengan manipulasi atau rekayasa, oleh karena itu hukum telah mengatur agar sebelum dijadikan alat bukti harus melalui pemeriksaan yang teliti dan dilakukan oleh ahli dalam bidang ITE, namun faktanya dan sangat disayangkan informasi elektronik yang dijadikan alat bukti oleh termohon tidak dilakukan prosedur berdasarkan hukum, melainkan hanya dinilai secara pribadi oleh termohon.

11. Bahwa dalam rekaman yang dijadikan alat bukti informasi elektronik, terdapat banyak kejanggalan, paling jelas yaitu suara lemparan yang janggal apabila melihat barang bukti batu yang beratnya diperkirakan diatas 1 kilogram, bahkan hal tersebut juga turut disangsikan oleh saksi sarlan bahwa yang dikatakan suara lemparan batu ke atap seng rumah mertua pelapor dalam rekaman sangat jelas bukan suara lemparan batu melainkan suara pukulan pada atap seng, dalam hal demikian seharusnya termohon profesional menggunakan SOP berdasarkan hukum karena bukan hal mustahil bahwa suara lemparan dalam rekaman adalah hasil rekayasa dengan cara ada oknum yang memukul seng lalu merekamnya.

12. Bahwa dalam rekaman juga tidak ada suara yang mengatakan dengan nada mengancam, adapun suara yang terdengar pada pokoknya bukan suara mengancam, apabila kemudian suara dalam rekaman akan disangkakan terhadap pemohon, tentunya harus berdasarkan prosedur hukum tersebut diatas, salah satu prosedurnya yaitu harus diambil dulu sampel suara pemohon lalu dicocokan dengan suara dalam rekaman yang tentunya dilakukan dengan menggunakan alat tertentu dan oleh ahli dalam bidang ITE, prosedur demikian tentunya termohon pasti tahu.

13. Bahwa suatu hal yang patut menjadi catatan yaitu suara rekaman yang dijadikan alat bukti, bukan lagi rekaman asli dari handphone pelapor, tapi sudah ditransfer ke laptop termohon lalu terbaru yang diketahui sudah dipindahkan lagi dalam sebuah flasdisk, hal tersebut penting karena guna menjaga dugaan pengeditan atau hilangnya bagian isi rekaman lengkapnya, jika merujuk pada prosedur hukum tentunya informasi elektronik harus dalam keadaan original bahkan dalam pemeriksaan oleh ahli polri selalunya pemeriksaan pada media yang digunakan untuk merekam atau mem fhoto informasi elektronik, hal tersebut dilakukan guna menjamin keaslian dan kelengkapan informasi.     

14. Bahwa oleh karena alat bukti rekaman menjadi tidak sah, sehingga jelas bahwa hanya 1 alat bukti yaitu keterangan saksi-saksi yang menjadi dasar penetapan tersangka terhadap pemohon, hal tersebut telah menyalahi ketentuan pasal 1 angka 14 KUHAP yang berbunyi : tersangka adalah seorang yang karena keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, bukti permulaan sebagaimana putusan MK nomor : 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan bahwa frasa bukti permulaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan adalah minimal 2 alat bukti yang termuat dalam pasal 184 UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

15. Bahwa oleh karena berdasarkan keseluruhan uraian tersebut diatas, maka patut dan beralasan hukum untuk dinyatakan penetapan tersangka terhadap pemohon tidak memenuhi 2 alat bukti sah.       

IV. SANGKAAN TINDAK PIDANA KABUR/ TIDAK JELAS DAN TERDAPAT KEKELIRUAN PENULISAN PENGANCAMAN DALAM MENUNJUK PASAL 335 AYAT 1 KE 1 KUHP.

  1. Bahwa mengenai pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP diatur dalam bab XVIII tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang, atau lebih dikenal dan disebut pasal perbuatan tidak menyenangkan dalam menunjuk pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP.
  2. Bahwa dalam pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP tidak ada tersebut sedikitpun pengancaman, melainkan ancaman kekerasan, oleh karena itu pemohon bingung, karena pengancaman itu hanya tersebut dalam dalam bab XXIII KUHP tentang pemerasan dan pengancaman, kebingungan pemohon dalam bagian ini semakin menambah kebingungan pemohon terkait perubahan dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada pemohon, sehingga pemohon binggung sebenarnya apa sangkaan tindak pidana terhadap pemohon yang sebenarnya ???
  3. Bahwa permasalahan kaburnya sangkaan tindak pidana terhadap pemohon, adalah beralasan hukum karena hal tersebut menyangkut hak tersangka sebagaimana ketentuan pasal 51 huruf a KUHAP yang berbunyi : untuk mempersiapkan pembelaan; huruf a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
  4. Bahwa faktanya dalam semua surat yang dikeluarkan termohon dituliskan membuat perasaan tidak menyenangkan (pengancaman), lalu kemudian berubah hanya dituliskan pengancaman, bahkan kalau mau diliat sangkaan awal cara penulisan saja sudah sangat keliru, karena penulisan membuat perasaan tidak menyenangkan lalu dibuat dalam kurung tulisan pengancaman merupakan hal yang sangat keliru, karena penulisan demikian dalam tata bahasa indonesia digunakan untuk mengapit suatu keterangan ataupun penjelasan contoh Mahkamah Konstitusi (MK), sementara dalam pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP, membuat perasaan tidak menyenangkan atau penyebutan dalam unsur pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP sebelum putusan MK yaitu sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, tidak menyenangkan tidak disamakan dengan pengancaman, adapun unsur ancaman kekerasan sinonim dari pengancaman dalam unsur pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP sebelum putusan MK, tentunya berdiri sendiri terpisah dengan unsur perbuatan tidak menyenangkan, hal tersebut ditandai dengan kata atau yang artinya menurut KBBI adalah kata penghubung untuk menandai pilihan diantara beberapa hal.
  5. Bahwa keberatan pemohon atas kaburnya sangkaan tindak pidana, jika dibiarkan nantinya akan berdampak dan merugikan pemohon jika ternyata perkaranya dilimpah ke Pengadilan Negeri Unaaha, yaitu merujuk pada pasal 51 huruf b, yaitu : terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya. Jika keadaan demikian tetap dibiarkan maka pemohon jelas dirugikan karena dalam tahap penyelidikan sampai penetapan tersangka, pemohon tahunya diperiksa dalam dugaan tindak pidana membuat perasaan tidak menyenangkan (pengancaman) lalu kemudian berubah jadi pengancaman. Jadi bagaimana mungkin dugaan tindak pidananya membuat perasaan tidak menyenangkan (pengancaman) lalu dalam dakwaan berubah jadi pengancaman ???
  6. Bahwa proses hukum terhadap pemohon adalah karena adanya laporan seseorang bernama Steven Efendi, oleh karena itu sangkaan terhadap pemohon tentang dugaan tindak pidana membuat perasaan tidak menyenangkan (pengancaman), sudah pasti keterangan dalam berkas laporan Steven Efendi, adapun kemudian baru diketahui termohon ternyata terkait unsur pasal sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan telah dicabut berdasarkan putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014, seharusnya termohon bisa tegas dan profesional menyatakan laporan Steven Efendi tidak dapat diproses lanjut karena perbuatan yang dilaporkan bukan lagi tindak pidana, karena merubah sangkaan tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan pelapor justru menunjukan kesan termohon memaksakan perkara, hal demikian justru akan mengikis kepercayaan termohon sebagai penegak hukum dimata masyarakat pada umumnya dan pemohon pada khususnya.
  7. Bahwa dalam bagian ini, pemohon berharap kepada termohon agar sekiranya bisa tegas dan profesional, harapan pemohon kepada termohon agar tegak lurus pada koridor hukum dalam menangani perkara aquo, apalagi proses hukum aquo tentunya menyangkut nasib pemohon yang berakibat pada anak dan istri pemohon.                          

V.  PENAHANAN TERHADAP PEMOHON TIDAK BERDASARKAN KETENTUAN PASAL 21 ayat 1 KUHAP.

  1. Bahwa tentang penahanan terhadap tersangka yaitu mengacu pada pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
  2. Bahwa mengenai frasa bukti yang cukup dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP, dalam putusan MK nomor : 21/PUU-XII/2014, telah pula diputuskan bahwa mengenai frasa bukti yang cukup bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti yang cukup adalah minimal 2 alat bukti yang termuat dalam pasal 184 UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
  3. Bahwa berkait hal tersebut kemudian sebagaimana diuraikan diatas mengenai tidak terpenuhinya 2 alat bukti dalam penetapan tersangka pemohon, oleh karena itu patut dan beralasan hukum untuk dinyatakan penahanan terhadap pemohon tidak sah.
  4. Bahwa mengenai pertimbangan keadaan dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, berikut tanggapan pemohon :
  1. Kekhawatiran tersangka melarikan diri : kekhawatiran termohon tidak beralasan, bagaimana tersangka melarikan diri, sementara rumah, keluarga dan aktivitas pemohon di tempat domisilinya Desa Momea Kecamatan Tongauna Kabupaten Konawe.
  2. Kekhawatiran tersangka merusak atau menghilangkan barang bukti : kekhawatiran tersebut tidak beralasan, karena dalam perkara aquo hanya ada 2 alat bukti dan 1 barang bukti, itupun sudah diamankan oleh termohon, jadi barang bukti mana yang dikhawatirkan ???
  3. Kekhawatiran tersangka mengulangi tindak pidana : kekhawatiran termohon lebih tidak beralasan, karena justru pemohon telah cukup berupaya menemui pelapor untuk klarifikasi dan menyelesaikan permasalahan aquo secara kekeluargaan, namun terhalang karena adanya syarat yang sulit dipenuhi pemohon, termasuk adanya campur tangan oknum pihak ketiga sehingga permasalahan aquo tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan.

Suatu hal yang patut menjadi catatan yaitu kekhawatiran termohon terlalu berlebihan, selain karena fakta tersebut diatas, juga mengenai penahanan pemohon, istri pemohon dan kepala desa  Momea Kecamatan Tongauna Kabupaten Konawe sudah bersedia menjadi penjamin bagi pemohon.

  1. Bahwa mengenai penahanan pemohon menimbulkan tanda tanya, harapan pemohon agar sekiranya termohon bisa lebih bijaklah dalam menggunakan kewenangannya, termohon tentunya tahu bahwa pemohon adalah tulang punggung anak dan istrinya, terlebih lagi pemohon adalah kategori masyarakat kurang mampu, jadi dalam keadaan pemohon yang tidak mengkhawatirkan sebagaimana uraian pasal 21 ayat 1 KUHAP, seharusnya termohon bisa lebih bijaksana untuk tidak menahan pemohon, apalagi mengingat pemohon begitu sopan dan kooperatif dalam mengikuti proses hukum aquo serta adanya permasalahan tindak pidana yang dilaporkan ternyata sudah dicabut keberlakuannya berdasarkan berdasarkan putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014. Mengapa tersangka yang ancaman pidananya diatas 10 tahun namun tidak ditahan sedangkan pemohon ancaman pidananya maksimal 1 tahun namun ditahan, pertanyaannya dimana hati nurani dan rasa keadilan termohon ???

PETITUM

Berdasar pada seluruh uraian diatas, Pemohon mohon kepada yang mulia Hakim Pengadilan Negeri unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara aquo, secara arif dan bijaksana dengan menimbang ketentuan hukum sebagaimana uraian pemohon untuk kemudian berkenan memutus perkara aquo sebagai berikut :

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan oleh karena sangkaan tindak pidana terhadap pemohon yaitu “membuat perasaan tidak menyenangkan” telah dicabut keberlakuaannya berdasarkan putusan MK nomor : 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014, maka terhadap segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan termasuk proses hukum lainnya oleh termohon yang berkenaan pemohon, adalah tidak sah.
  3. Menyatakan tidak sah dan bertentangan hukum alat bukti rekaman atau informasi elektronik yang digunakan oleh termohon dalam perkara aquo.
  4. Menyatakan tidak sah barang bukti berupa batu yang dijadikan barang bukti oleh termohon dalam perkara aquo.
  5. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka sebagaimana surat perintah penyidikan nomor : SP. Sidik/12/IX/2018/Reskrim, tanggal 20 September 2018, dengan dugaan tindak pidana “membuat perasaan tidak menyenangkan”, dengan menunjuk Pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP, adalah tidak sah.
  6. Menyatakan penahanan termasuk penahanan lanjutan terhadap pemohon, adalah tidak sah
  7. Memulihkan hak dalam hal kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat pemohon.
  8. Menghukum termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Apabila yang mulia Hakim Pengadilan Negeri Unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya